Rabu, 22 Oktober 2008

Wibawa hukum

Kepada Djoko Sarwoko, Ketua Muda Bidang Pengawasan MA.
Pada wawancara pagi ini pada TV One tentang peristiwa pembunuhan di ruangan PN, Anda a.l. mengatakan bahwa wibawa hukum adalah diatas wibawa penegak hukum. Pertanyaannya adalah: pernahkah Anda mendengar peribahasa yang berbunyi: "the man behind the gun", yang bermakna, bahwa manusialah yang mengendalikan peralatan. Bagaimana pun canggihnya peralatan, kalau manusia yang memakainya tidak kompeten, sia-sia saja kecanggihan alat itu. Kiranya Anda sebagai penegak hukum dapat memberikan penjelasan lebih lanjut tentang ucapan Anda itu. Terima kasih.

Jumat, 10 Oktober 2008

politik (politics)

Merujuk kepada blog kemarin mengenai politikus busuk, ada baiknya ditelaah apa yang dimaksudkan dengan politik, atau dalam bahasa Inggeris "politics". Merujuk kembali kamus AS Hornby, politics: the science or art of government; political views, affairs, questions, etc. Sedangkan political adalah 1 of the State; of government; of public affairs in general; 2 of politics. Dengan demikian seorang politikus tidak terlepas dari hal pandangan, hal ihwal, pertanyaan-pertanyaan, dan sebagainya yang berhubungan dangan ilmu dan seni pemerintahan.

Disamping itu politik didasarkan pada idealisme, yaitu usaha untuk hidup menurut cita-cita, suatu patokan atau pedoman yang dianggap sempurna, misalnya naionalis, demuokratis, republikein, sosialis, komunis. agama. dan sebagainya.

Partai politik adalah wadah bagi mereka yang mempunyai idealisme yang sama, dan kekuasaan yang diperoleh dengan kendaraan partai politik bersangkutan, adalah untuk merealisasikan suatu pemerintahan dengan dasar idealisme itu. Hal ini menerangkan, bahwa setiap orang yang akan bergabung dengan suatu partai politik harus lebih dulu meyakini, bahwa partai itu berjuang dengan idealisme yang sama dengan yang dianutnya. Tidak semata-mata, karena dengan bergabung dia akan memperoleh kekuasaaan tanpa mempedulikan idealisme. Kutu loncat adalah suatu pencerminan bagaimana orang bersangkutan tidak mempunyai prinsip.

Menjadi tanggunjawab dari pimpinan partai politik untuk lebih dahulu meneliti dengan seksama seseorang yang akan diterima dan diangkat sebagai kader partai. Dia harus mempunyai nilai-nilai sedemikian, sehingga tidak akan menjatuhkan citra partai karena pemaknaan yang menyimpang dari partai politik sebagai wadah untuk memperjuangkan suatu pemerintahan atas dasar idealisme partai itu.

NKRI adalah negara kesatuan yang Bhineka Tunggal Ika dengan ideologi Pancasila sebagai yang tertera dalam pembukaan UUD Negara Republik Indonesia tahun 1945. Merdeka, bersatu, berdaulat, adil, dan makmur dengan keinginan luhur supaya berkehidupan kebangsaan yang bebas, dalam melindungi segenap bangsa dan seluruh tanah tumpah darah Indonesia, dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan kehidupan bangsa. Ikut serta dalam melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial, serta berkedaulatan rakyat. Untuk itu dibentuk Undang-Undang Dasar Negara dalam suatu susunan Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan rakyat dengan berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa, Kemanusiaan yang adil dan beradab, Persatuan Indonesia, dan Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusjawaratan/perwakilan serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.

Tidak ada tempat di negara ini buat perseorangan atau kelompok yang ingin berkuasa dengan mengabaikan, tidak peduli, dan meninggalkan cita-cita ini.

Kamis, 09 Oktober 2008

Politikus busuk

Oxford Advanced Learner's Dictionary of Current English by AS Hornby mengatakan: politician: person taking part in politics or much interested in politics; (in a bad sense) person who follows politics as a career, regardless of principle. Jadi POLITIKUS BUSUK adalah orang yang berkecimpung dalam politik, sebagai karier tanpa prinsip.

Statesman: person taking part in the management of State affairs: disinterested political leader. Statesmanship: skill and wisdom in managing public affairs. NEGARAWAN adalan politikus yang tidak tertarik memimpin perpolitikan, mengambil bagian dan mempunyai keahlian dan kearifan dalam mengelola hal-ihwal kenegaraan.

Politikus busuk lahir karena pilihan pribadi. Yang bersangkutan melihat dan meyakini. bahwa memasuki kancah politik sebagai karier mendatangkan manfaat bagi dirinya, tanpa memerlukan suatu prinsip. Penetapan nomor urut dalam penentuan calon anggota legislatif dilakukan oleh pimpinan partai politik bersangkutan, yang tentunya didasarkan pada kriteria tertentu. Sampai saat ini tidak diketahui apa kriteria yang dipakai. Yang jelas adalah jika perolehan suara tidak mencapai angka pembagi, terlepas dari berapa jumlah suara yang diperoleh, nomor urutlah yang menentukan caleg bersangkutan terpilih. Sistem ini memberi peluang bagi mereka yang mempunyai alat (umumnya harta kekayaan) dan kesempatan serta diperkenankan memasuki panggung politik, dan antara lain menjadi penyebab kelahiran politikus busuk. Jadi sebagian besar pimpinan partai politik dewasa ini harus bertanggungjawab atas banyaknya politikus busuk yang berkeliaran dan berperan aktif di negara ini.

Negarawan, politikus yang mempunyai keahlian dan kearifan mengelola negara, tidak memerlukan kekuasaan untuk kepentingan pribadi atau kelompok yang membesarkannya, tetapi terpanggil untuk mengabdi dan berbakti kepada negara dan bangsanya. Tokoh seperti inilah yang dibutuhkan, bukan POLITIKUS-POLITIKUS BUSUK, yang memnetingkan diri sendiri dan golongannya, pecundang-pecundang dan petualang-petualang yang merugikan bangsa dan negara.

Selasa, 07 Oktober 2008

Tanggapan secara transparan

Menyimak antara lain Kabaret Gado-gado Politik pada tayangan di Metro TV, timbul pertanyaan tentang kebenaran informasi-informasi yang diberikan. Masyarakat perlu mendapat tanggapan Pemerintah tentang kebenaran informasi itu, karena masalah yang dikemukakan umumnya menyangkut kepentingan umum, yang menjadi tugas dan kewajiban Pemerintah. Tanggapan dalam bentuk penjelasan secara transparan dan mudah dimengerti oleh masyarakat umum akan dapat mencapai pengertian yang baik, yang antara lain berkaitan dengan kredibilitas Pemerintah dan kepercayaan masyarakat kepada orang-orang yang dipercayakannya mengurus negeri ini. Pada akhirnya rakyat memerlukan dan sangat mengharapkan hasil nyata yang berguna dan dinikmati oleh masyarakat umum, bukan keterangan-keterangan bernuansa membela diri, apalagi hanya retorika semata.

Selasa, 16 September 2008

Manusia biasa

Apabila seorang, karena kedudukan atau jabatannya, berbuat kekeliruan atau kesalahan, dikatakan bahwa di adalah seorang manusia biasa. Seolah-olah kekeliruan atau kesalahan yang dilakukannya, dapat dimaklumi dan / atau dimaafkan. Diketahui, bahwa manusia: 1) makhluk ciptaan Tuhan, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb. Jelaslah, bahwa manusia itu tidak berbeda dengan manusia lain; 2) berakal budi (sebagai lawan binatang). Fakta ini menunjukkan, bahwa manusia itu, berbeda dengan hewan, sangat dipengaruhi oleh akalnya; 3) bersifat salah. Tidak ada manusia yang sempurna, dan karena itu dia dapat saja berbuat keliru atau salah; 4) mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menguasai satu atau lebih bidang dengan baik atau kurang menurut takaran yang dikehendaki; 5) mempunyai sifat atau dasar watak. Sesuatu yang disenangi atau tidak disenangi oleh lingkungan dimana dia berada; dan 6) mempunyai sikap dalam berbuat, berpikir, dsb. berdasar sifat / pendirian (pendapat atau keyakinan). Dengan memperhatikan dan memahami tersebut pada butir-butir diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa adalah terlalu mengada-ada dan menyederhanakan persoalan dengan mengatakan pelaku kekeliruan atau kesalahan itu adalah karena dia juga manusia. Kiranya untuk persoalan ini dapat dipakai sebagai rujukan Bab VI tentang Pemimpin dengan segala persoalannya, dari hal 159 sampai dengan hal. 168, Buku Rangkaian Adat Basandi Syarak di Minangkabau, karangan H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, yang mengupas soal penghulu dan pemangku adat di Minangkabau, tentang tugas, tanggung-jawab, sifat, sikap, dan pengetahuan "penghulu" (dapat disamakan dengan Presiden) dan "pemangku adat" (seluruh staf pembantu Presiden, termasuk bidang judikatip). Moga-moga dengan rujukan ini terbukalah mata hati setiap orang, terutama yang berambisi menduduki suatu jabatan penyelenggara negara ini, memakai akal untuk bertobat dan memusatkan perhatian mereka kepada keberhasilan seluruh usaha yang berada dalam domein tugas dan tanggung-jawab masing-masing

Minggu, 14 September 2008

Oknum dan pengawasan

Kalau terjadi suatu pelanggaran atau penyalahgunaan dalam memakai kewenangan, yang bisanya dijadikan kambing hitam adalah "oknum". Apakah sebetulnya oknum itu? Mungkinkah orang yang tidak terlibat atau berada dalam lingkungan wilayah kejadian itu, melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan lingkungan itu. Misalnya: mungkinkah seorang yang bukan pegawai kantor pajak berbuat sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan? Atau mungkinkah seorang yang bukan anggota Polisi menindak pelanggar lalu-lintas?
Suatu aspek lain, adalah fungsi pengawasan, yang menjadi tugas dan kewajiban setiap unsur pimpinan. Bagaimana pun juga pelanggaran atau penyalahgunaan yang dicontohkan diatas, adalah akibat dari tidak ada atau lemahnya pelaksanaan fungsi pengawasan oleh atasan. Adilkah kalau pelaku pelanggaran / penyelahgunaan itu saja harus dikenakan sanksi, sedangkan yang berkewajiban mengawasi pelaksanaan tugas "oknum" bersangkutan dapat berlenggang kangkung bebas dari ketidak-becusannya sebagai atasan?
Kata oknum ini dipakai untuk semua lapisan yang mempunyai kewenangan, yang melanggar atau menyalahgunakan kewenangan, mulai dari kasir, pegawai pajak, dan sebagainya, sampai kepada mereka yang menandatangani suatu izin resmi dalam wilayah kekuasaan instasi bersangkutan. Jadi dari seorang pegawai kecil sampai pada pejabat tertinggi dalam instansi itu. Yang tidak pernah mereka lupakan dalam melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan kewenangan itu, adalah menonjolkan atribut-atribut instansi dimana mereka bernaung. Apakah logis HANYA pelanggar dan / atau penyalahguna kewenangan seperti dicontohkan diatas, supaya lolos dari jeratan hukum yang berlaku? Suatu masalah untuk direnungkan demi keadilan.

The man behind the gun

Pemeo ini sudah begitu lancar dilafazkan oleh hampir semua pihak, tetapi kenyataan sehari-hari memperlihatkan, bahwa sedikit sekali orang yang berusaha untuk menciptakannya dalam dunia nyata. Persoalan yang disinggung sebenarnya cukup sederhana, yaitu: berhasil tidaknya suatu usaha sangat tergantung dari orang yang mengendalikannya. Seperti di zaman komputerisasi ini, betapa canggihnya hardware yang dipakai, betapa sophisticated software yang terpasang, tetapi hasil akan sangat tergantung kepada manware yang mempergunakanya, terutama penanggungjawab dari proses yang dilakukan. Kenapa hal ini tidak berlaku di NKRI yang sudah 63 tahun merdeka ini, yang dikatakan negara yang mempunyai sumber alam, sumber daya manusia, dan kekayaan yang melimpah ruah? Mengapa seperti tidak ada gerakan menunju perbaikan dalam mencapai kesejahteraan, pencerdasan, dan perberadaban yang berkeadilan? Mengapa seolah-olah negara ini milik segelintir orang yang berkuasa dan orang yang mempunyai harta, sedangkan sebagian besar rakyat dibiarkan tetap menderita dalam kemiskinan, kebodohan, dan diperlakukan semau-maunya? Tidak seperti Tiongkok, yang lebih kurang 20 tahun yang lalu, rakyat belum mengenal apa yang dinamakan walkman, tetapi sekarang sudah merambah kemana-mana dengan teknik dan poduksi yang canggih. Demikian juga dengan Vietnam, Thailand, dan beberapa negara lain, yang di tahun 1997 bersama-sama dengan Indonesia dilanda resesi, tetapi sekarang sudah pulih kembali, sedangkan Indoneisa masih terseok-seok menghadapi pengangguran, kekurangan lapangan kerja, ketiadaan penegakan hukum, perekonomian yang semrawut, dan sebagainya. Jawabannya sederhana sekali, yaitu NKRI masih menunggu tokoh-tokoh pemimpin yang betul-betul terpanggil untuk mengisi kemerdekaan, yang diproklamirkan 63 tahun yang lalu. Bukan orang-orang, yang hanya mempunyai kemauan dan kemampuan mencari takhta, harta dan wanita untuk kejayaan kelompok dan pribadi masing-masing. Moga-moga kita mendapatkan tokoh-tokoh dimaksud dalam waktu secepatnya, bila mungkin pada tahun 2009 yang akan datang. Karena itu hati-hatilah menjatuhkan pilihan. Jangan sampai terjebak oleh janji-janji atau money-politics.

Sabtu, 13 September 2008

Kata "anda"

Menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus UmumBahasa Indonesia anda bermakna II : ganti diri orang kedua (untuk menyebut orang kedua secara umum, tidak membedakan tingkat kedudukan dan umur). Kiranya perkataan ini adalah pilihan yang cocok dan tepat untuk menyampaikan pesan terhadap khalayak ramai. Dengan memakai perkataan "anda" iklan dan pengumuman yang disampaikan bernuansa netral dan simpatik, yang uudah-mudahan juga dapat menggugah hati pembaca dan/atau pendengarnya untuk lebih memberikan perhatian kepada isi dan tujuan iklan dan pengumuman bersangkutan.

Kata "kamu"

Iklan-iklan atau pengumuman-pengumuman dari instansi-instansi memakai kata "kamu" terhadap khalayak ramai yang dituju. WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengatakan sbb: engkau : kata ganti orang yg kedua (dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya, tetapi di doa dipakai juga untuk Tuhan). Kamu: 1 engkau sekalian; 2 engkau (lebih takzim sedikit). Berbeda dengan bahasa asing, khususnya bahasa Inggeris, perkataan "you" dipakai tanpa kecuali (tetapi dengan diikuti oleh cara penyampaian yang hormat, tergantung dari lawan bicara). Sekelompok orang di negara ini juga sudah memperkenalkan cara pemakaian ini, tetapi sayangnya tidak dilatarbelakangi oleh pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata "lu" yang berasal dari Cina, menurut Kamus diatas adalah bahasa kasar yang berart: engkau; kamu, yang sehari-hari biasa dipergunakan oleh seleberiti dalam hampir setiap kesempatan, resmi atau tidak, dengan label bahasa gaul. Iklan-iklan dan pengumuman melalui media cetak atau elektronik, ditujukan kepada khalayak ramai, yang tidak dikenal. Karena itu tidaklah berkelebihan, jika kata-kata yang dipakai harus bersifat resmi dan disampaikan dengan hormat. Semoga mendapat perhatian dari yang berkepentingan, agar berbuat sesuai dengan tempat dan suasana yang berlaku.

Kata-kata kamu, engkau. dan Anda.

Umum dipakai dalam iklan-iklan maupun pengumuman dari instansi-instansi resmi, kata "kamu" terhadap khalayak umum yang tidak dikenal (unknown receptions). Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia perkataan engkau beratri: kata ganti orang yg kedua (dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya, tetapi di doa dip[akai juga untuk Tuhan),l

Kata-kata "saya" dan "aku"

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, terdapat perbedaan, yang dapat dikatakan cukup berarti, tentang pengertian kedua kata itu, yakni: saya : 1 pengganti orang kesatu yg lebih takzim dp aku; mis. ~ belum mengerti; sedangkan aku : 1 kata ganti orang pertama (biasanya dipakai di percakapan yang akrab, spt orang tua kpd anaknya, dsb; dan dipakai juga didoa). Merujuk kepada pengertian-pengertian tersebut, timbul pertanyaan, apakah tepat kata-kata itu dipakai pada setiap kesempatan berbicara? Apakah memenuhi syarat kepatutan jika seseorang memakai kata aku dalam berbicara dalam lingkungan dan/atau dengan orang yang sewajarnya dihormatinya? Dewasa ini kata aku sudah menjadi suatu yang lumrah dipergunakan dalam hampir setiap pembicaraan, tanpa membedakan siapa lawan bicara. Mungkin di sekolah-sekolah dalam belajar Bahasa Indonesia yang baku, perbedaan pengertian dari kedua kata-kata itu kurang diperhatikan, sehingga murid-murid tidak mengetahuinya. Perlu dicatat, bahwa kata gua adalah kata kasar untuk aku, berasal dari bahasa China. Apakah tidak seharusnya Lembaga-Lembaga Bahasa Indonesia berkewajiban meluruskan dan membenahi masalah ini? Bahasa menunjukkan bangsa: bangsa yang beradab, berbudaya, dan bermartabat. Marilah kita kembali memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selasa, 02 September 2008

Salah tangkap

Diberitakan, bahwa telah beberapa kali polisi salah tangkap. sampai-sampai orang-orang bersangkutan dihukum dan dipenjarakan. Terdapat 6 (enam) hal menarik tentang kejadian ini:
1) Polisi telah melakukan kesalahan menangkap orang-orang yang tidak bersalah. Hal ini dapat dihindarkan, jika polisi teliti dan cermat menganalisa informasi yang diterima. 2) Polisi tidak menghadirkan penasihat hukum yang bertugas membela terdakwa. Ini adalah kejadian yang fatal buat kepolisian yang mestinya mengerti dan menghormati hak-hak setiap tersangka.
3) Polisi telah melakukan penyiksaan dan pemerasan dalam usaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Nyata sekali, bahwa polisi bertindak sewenang-wenang dalam pemeriksaan
Hal ini dapat dihindarkan, sekiranya penasihat hukum hadir pada waktu pemeriksaan oleh polisi.
4) Tidak ada permohonan maaf dari polisi tentang kesalahan tangkap itu dan penyiksaan yang telah dilakukan. Suatu hal yang menunjukkan pembenaran atas kesewenang-wenangan itu.
5) Tidak jelas apakah nama yang bersangkutan sudah direhabilitir atau belum. Suatu hak setiap orang yang secara tidak "sengaja" dicemarkan, harus direhabilitir. 6) Tidak diketahui apakah polisi yang melakukan kesalahan tangkap dan penyiksaan itu sudah dikenakan sanksi administratip dan / atau pidana. Seolah-olah polisi dapat berbuat salah tanpa dikenakan sanksi, administratip atau pidana untuk kesalahan atau pelanggaran yang telah dilakukannya.
Jika sinyalaemn diatas benar, maka haruslah disadari, bahwa polisi adalah bagian dari penegak hukum, dan NKRI adalah negara hukum. Kalau para penegak hukum tidak menegakkan hukum, malahan dibebaskan dari pelanggaran hukum dan / atau kesalahan yang dibuatnya, apalagi dalam mendalankan tugas dan kewajibannya, perlu dipertanyakan: AKAN DIBAWA KEMANA NEGARA INI?

Munafik

Mengamati perkembangan akhir-akhir ini terutama dalam perpolitikan, dapat disimpulkan, bahwa kemunafikan telah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Ada baiknya, jika kita lebih dahulu menyamakan persepsi tentang arti munafik. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta munafik berati: hanya kelihatannya percaya, suci, setia dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak. Oxford Advanced Learner's Dictionary of Common English (AS Hornby) menyebutkan: hypocricy sebagai (instance of) falsely making onself appear to be virtuous or good. Synonym dari kata ini menurut The Nutall Dictionary of English Synonyms and Antonyms keluaran Frederick Warne, London - New York, dan edited by G. Elgie Christ, adalah sincerety, yang berarti menurut Oxford Dictionary diatas: (of feelings, behaviour) the quality of being genuine not pretended, atau (of person) straightforward, not in the habit of expressing feelings that are pretended. Dalam bahasa Indonesia, menurut Kamu Umum diatas, sincerety berarti: benar-benar terbit di hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong. Apabila rumusan ini dapat diterima, maka sudah waktunya kita melakukan sesuatu, terutama para politisi, agar perilaku dan kinerja kita tercermin dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan bangsa ini, seperti yang dicita-citakan oleh founding fathers kita. Tidak dipungkiri, bahwa dasar usaha ini adalah ideologi sendiri-sendiri, yang diwadahi oleh partai politik yang sepaham. Jadi partai-partai politik harus merupakan badan-badan yang memulai reformasi ini, dan tidak lagi sebagai sumber kemunafikan. Kecuali itu partai-partai politik harus mengucilkan mereka yang berperilaku kutu loncat, karena jelas sekali mereka tidak mempunyai prinsip.
Politisi tidak mungkin terdiri dari manusia-manusia munafik, yang hanya bernafsu berkuasa untuk takhta, harta dan wanita. Kelompok manusia ini patut dihindarkan dari kancah perjuangan mengisi kemerdekaan ini. Siapa saja manusia-manusia itu? Mereka umumnya adalah orang-orang yang telah menikmati kejajaan dan harta dengan segala macam cara sesuai dengan sistem yang berlaku, dan orang-orang muda usia yang tercemar karena keturunan dan kesempatan / peluang yang mereka peroleh, dan berusaha melindungi diri masing-masing dari tuntutan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan, serta sekaligus mempertahankan kekuasaan, dan harta yang telah berhasil mereka raup. Karena itu marilah kita bulatkan tekad dan tegakkan kepala melawan dan menghilangkan segala kemunafikan yang ada.

Senin, 04 Agustus 2008

Kejujuran

Lie detector dipakai oleh Polisi untuk mengecek kebenaran jawaban yang diberikan oleh si penjagal berantai, Ryan. Perlunya pemakaian alat ini, karena jawaban-jawaban yang diberikan terdakwa atas pertanyaan-pertanyaan lisan yang diajukan, disangsikan kebenarannya. Jika demikian halnya, ada baiknya lie detector juga dipergunakan untuk mengetahui apakah para anggota DPR atau setiap pejabat berkata jujur, apabila dalam penyidikan maupun didepan Hakim di Pengadilan Negeri hanya menjawab "tidak tahu" atau"lupa" atas pertanyaan-petanyaan yang diajukan berkaitan dengan dugaan kejadian yang melibatkan mereka. Bohong, menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarminta, berarti: tidak sesuai dengan keadaan yang sebenarnya. Berlawanan dengan kata bohong adalah kata "jujur', yang berarti: lurus hati; tidak curang. Berhubung dengan yang dihadapi adalah orang-orang, yang "dipercayakan" mengatur negeri ini dan lebih dari 200 juta jiwa, tidaklah berlebihan kalau dituntut kejujuran mereka dalam kehidupan sehari-hari, yang bersumber pada hati nurani masing-masing. Tidak disangkal, bahwa memberi jawaban yang tidak jujur bersumber pada dekadensi moral. Tapi dengan paksaan untuk berbuat dan berkata jujur, mungkin timbul
ketakutan untuk melakukan hal-hal yang tidak pantas mereka lakukan, dan dengan begitu berangsur-angsur kemorosotan moral bangsa ini dapat dipulihkan. Hukum harus ditegakkan dan kejahatan haruslah dihukum tanpa pilih bulu.

Minggu, 03 Agustus 2008

Kelalaian petugas kir?

Menjadi rahasia umum, bahwa birokrasi dewasa ini mempunyai suatu sikap, "kalau bisa dipersulit, kenapa dipermudah". Sikap ini membuka beberapa peluang, yang berhubungan dengan kewenangan pejabat bersangkutan DAN kebutuhan masyarakat tentang arti yang diperoleh dari kewenangan tersebut. Tetapi, pemeo ini dapat pula dipakai untuk hal, yang sama sekali bertentangan dengan pemeo pertama, yaitu: "kalau bisa dipermudah, kenapa dipersulit". Kesamaan dari kedua pernyataan ini ialah, 1) hanya dapat dilakukan oleh pejabat, dan 2) akibat finansial bagi pejabat yang bersangkutan dan masyarakat yang memerlukan. Hal terakhir ini terbukti dari berita Media Indonesia hari ini tentang tidak ada bus kota lulus ujian emisi, karena petugas kir lalai. Ketua Bidang Pengendalian Pencemaran Lingkungan BLHD DKI, Ridwan Panjaitan, telah meminta Dinas perhungan DKI selektif meluluskan uji kir kendaraan umum, terutama bus kota. karena asap hitamnya mencemari Jakarta, dan mengemukakan pula hasil ujian emisi 6 bus kota di Jl Pemuda menunjukkan buangan asapnya mencapai antara 85% - 90%. Ia menduga bus-bus tersebut lulus karena kelalaian petugas. Sementara itu, Kepala Dishub DKI, Muhammad Tauchid, mengatakan pihaknyua sudah perintahkan semua unit PKB agar tidak meluluskan angkutan umum, bila buangan asapnya diatas 60%. Ketua DPD Organda DKI Jakarta, Herry Rotti, keberatan bila dikatakan pengusaha angkutan umum mengabaikan kewajiban menguji emisi gas buang armadanya. Mungkin saja dalam rentang 6 bulan uji kir, ada komponen yang rusak. Herry juga mengakui uji kir yang dilakukan Dishub DKI, sering kali tidak sesuai prosedur dan banyak pungutan liar (pungli). Dari keterangan Kepala BLHD DKI, Kepala Dishub DKI, dan Ketua DPD Organda DKI Jakarta diatas, dapat disimpulakn bahwa sistem tidak berjalan, karena alasan-alasan pembenaran yang dikemukakan. Masyarakat mengetahui, dan kebenaran berita ini sudah bersifat rahasia umum, bahwa banyak ditemukan di jalanan, kendaraan umum yang tidak laik jalan, seperti kaca jendela pecah, ban klimis, tanpa spion, dan sebagainya. Pertanyaannya apakah pengusaha mengecek kelaikan armadanya, dan bagaimana DISHUB meluluskan kendaraan bersangkutan. Khabar burung mengatakan, bahwa KHUSUS untuk waktu kir dilakukan, kekurangan-kekurangan itu dengan satu dan lain cara ditiadakan oleh pengusaha, yang khabarnya BUKAN TIDAK diketahui oleh petugas kir. Malahan ada bagian-bagian yang sudah seharusnya tidak laik, seperti kaca jendela tidak ada, body rusak, tapi tetap diluluskan. Dapat ditarik kesimpulan, bahwa ketiga penanggung jawab angkutan umum itu telah melakukan perbuatan yang tidak sesuai dengan fungsi, tugas, dan kewajiban masing-masing, malahan berusaha mencari-cari dalih dan melemparkan kesalahan pada pihak lain, tidak terkecuali kepada para bawahannya. Akan beginikah perspektif kehidupan di negara hukum NKRI ini?

Jumat, 25 Juli 2008

Pemakaian Bahasa Indonesia

Tertarik pada ulasan bahasa dengan judul "Kalimat Berbohong" di Harian Media Indonesia hari ini tanggal 26 Agustus 2008, menurut hemat saya banyak orang memakai bahasa Indonesia (baku?) dewasa ini, yang kurang memperhatikan kaidah-kaidah yang berlaku. Kalau kita sungguh-sungguh memperhatikan pemakaian bahasa yang baik dan benar, akan ditemukan beberapa kesalahan lain, karena salah mengartikan makna dari kata yang diucapkan, misalnya saja kata aku dan kata saya. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Poerwadarmina aku adalah 1 kata ganti orang pertama, biasanya dipakai dalam percakapan yang akrab, seperti orang tua kepada anaknya, dan sebagainya, dan dipakai juga dalam doa; 2 diri sendiri. Sedangkan saya 1 pengganti orang kesatu yang lebih takzim daripada aku; mis. - belum mengerti; 2 ya; mis: -, tuan. Sungguh pun arti kedua kata itu sama, yaitu kata ganti orang pertama, kata-kata itu jelas berbeda derajat pemakaiannya. Sekurang-kurangnya dalam percakapan resmi dan percakapan di muka umum, sebaiknya tidak mengabaikan masalah ketakziman yang terkandung dalam kata-kata itu. Selain dari itu, terdapat pengertian yang keliru mengenai kata suatu dan beberapa, yang mengandung arti tunggal dan jamak dari objek yang dibicarakan. Kembali kepada WJS Poerwadarminta suatu berarti satu; hanya satu. Dan beberapa untuk menyatakan bilangan yang kurang tentu (boleh banyak boleh sedikit); mis: - orang; - tahun; berapa. Sering terdengar orang mengucapkan, misalnya: sesuatu pemikiran-pemikiran atau beberapa soal-soal. Dari cukilan diatas, dapatlah dipahami, bahwa seharusnya dikatakan sesuatu pemikiran, bukan sesuatu pemikiran-pemikiran, atau beberapa soal, bukan beberapa soal-soal. Banyak hal-hal lain yang dapat dijadikan contoh-contoh tentang kesalahan pemakaian Bahasa Indonesia. Karena itu sudah waktunya kalau badan-badan yang mempunyai otoritas, memberikan perhatian dan berusaha meluruskan pemakaian BahasaIndonesia yang baik dan benar, lisan maupun tertulis. Tanpa adanya usaha yang sungguh-sungguh, pemakaian dan pemahaman Bahasa Indonesia akan semakin kacau.

Kamis, 24 Juli 2008

Memilih pemimpin

Memilih adalah suatu pekerjaan yang penting dalam kehidupan manusia, karena akan menentukan masa depan yang bersangkutan. Demikian juga dengan memilih seorang pemimpin negara. Yang perlu ditetapkan adalah kriteria untuk dapat dipilih menjadi pemimpin. Kalau pilihan terbatas pada calon-calon pemimpin yang tua dan yang muda, maka harus disadari bahwa seorang pemimpin yang tua lebih berpengalaman, walaupun masih harus dilihat apakah visi untuk mencapai keadilan. keamanan, dan kesejahteraan bangsa dan negara dilaksanakan dengan konsisten dan cukup berhasil seperti yang direncanakan dan diharapkan, kredibilitas, dan last but not least ketauladanan berdasarkan moral dan etika yang terpantau. Demikian pula jika pemimpin itu dari golongan muda, yang umumnya lebih kreatif dan dinamis, dan dianggap mempunyai kemauan dan kemampuan mengabdi untuk nusa dan bangsa. Jadi tedapat kelebihan dan kekurangan dari kedua calon pemimpin yang akan dipilih. Disamping itu kejelian para pemilih meneliti kriteria yang harus dipenuhi kedua golongan calon pemimpin itu akan menentukan tingkat ketepatan pilihan yang dilakukan. Kalau kinerja dari calon yang tua sudah dapat dinilai pada waktu pilihan dilakukan, kinerja calon yang muda masih harus menunggu hasil pekerjaannya. Jadi sebetulnya tidak ada perbedaan yang mencolok, apakah calon pemimpin itu sudah berumur atau masih muda, yang pokok dan penting dipertimbangkan dengan objektip dan rasional oleh pemilih adalah bahwa yang terpilih memenuhi kriteria yang ditentukan semula. dan berdasarkan penilain pemilih, yang terpilih akan berhasil dalam tugasnya. Kesalahan memilih mungkin saja terjadi, tetapi pilihan adalah pilihan yang menuntut pertimbangan-pertimbangan menyeluruh berdasarkan akal sehat.

Pengawasan

Menurut pendapat saya.yang namanya pengawasan tidak dapat dipisahkan dari fungsi-fungsi yang harus dijalankan oleh seseorang yang menjadi atasan dari suatu unit, sekecil apapun dalam satu organisasi. Pengawasan adalah satu dari sekian banyak fungsi seseorang yang mempunyai bawahan, yang luasnya tergantung letak dari hierarkis dalam organisasi. Jadi, pengawasan yang harus dilakukan oleh seorang pimpinan tertinggi jauh lebih luas dan berbeda sifatnya dari seorang kepala seksi dalam organisasi yang sama. Sesungguhnya pengawasan yang dilakukan oleh pimpinan unit-unit dibawah pimpinan tertinggi adalah tugas yang didelegasikan, dan masing-masing bertanggung-jawab kepada atasan langsungnya. Pengawasan itu MELEKAT pada jabatan yang diembannya, tidak seperti pendapat yang mengatakan, bahwa pengawasan melekat itu tertuju kepada dirinya sendiri. Mungkin yang dimakudkan adalah penguasaan diri, yang berhubungan langsung dengan kemampuan dan sikap moral yang bersangkutan. Hal ini menentukan tingkat kepercayaan yang dapat diberikan kepada yang bersangkutan, kepercayaan tentang kejujurannya dan kepercayaan tentang kemampuannya melaksanakan tugas yang diembannya. Juga pengawasan, seperti yang pernah saya dengar, akan dijalankan sesudah diterima laporan penyimpangan atau pelanggaran sesuatu yang telah ditetapkan lebih dahulu. Tentang pendapat ini, saya pikir kita sudah memasuki tahap berikutnya dari pengawasan yang harus dilakukan. Pengawasan adalah sesuatu fungsi untuk menjaga ketertiban penyelenggaraan, menentukan langkah-langkah untuk koreksi atau perbaikan dari kebijaksanaan, sistem, dan prosedur, kalau terjadi perubahan-perubahan yang berpengaruh terhadap hasil yang direncanakan semula, dan pada akhirnya menetapkan langkah-langkah dan tindakan-tindakan preventip maupun represip terhadap pelaku-pelaku penyimpangan dan/atau pelanggaran, untuk meluruskan jalan usaha. Jadi fungsi pengawasan adalah fungsi yang harus dijalankan oleh setiap pimpinan unit, mulai dari yang tertinggi sampai yang terendah, dan bersifat proaktif terhadap segala sesuatu yang dapat mempengaruhi atau berpengaruh terhadap target organisasi yang direncanakan.

Rabu, 11 Juni 2008

Kenapa tidak bisa bertindak tegas?

Akhir-akhir ini terdengar pujian terhadap Polisi, karena bertindak tegas terhadap FPI yang telah melakukan kekerasan di daerah Monas. Pujian atau bukan. sebetulnya tidaklah perlu dipersoalkan. Seharusnya setiap orang yang mempunyai tugas dan kewajiban formal atau tidak, menjalankan fungsinya dengan baik. Penilaian tentang hasil kinerja dalam menjalankan fungsi itu dapat berbentuk cacian atau pujian, tergantung dari cara masyarakat menilai dan mengekspresikannya. Sekiranya menjadi polisi atau apapun jenis pekerjaannya, adalah pilihan atas dasar keinginan, maka tidaklah menjadi persoalan, apakah orang akan mengemukakan keberhasilan, atau lebih menyoroti kegagalan yang bersangkutan. Yang penting adalah yang bersangkutan dengan penuh dedikasi berusaha menjalankan tugas dengan sebaik-baiknya. Tidaklah pantas untuk menuntut pujian atas keberhasilan-keberhasilan, walaupun dapat dimengerti perasaan yang ditimbulkan, bilamana yang dipersoalkan selalu hal-hal yang kurang baik saja. Kecuali. kalau pilihan pada pekerjaan yang diemban didasarkan tadinya pada informasi atau pengetahuan tentang peluang-peluang yang terdapat pada jabatan itu, yang dapat memberi kemungkinan menghimpun harta dengan segala macam cara, dan untuk itu sudah mengeluarkan modal untuk dapat dimasukkan dalam daftar gaji pada instansi bersangkutan.