Selasa, 16 September 2008

Manusia biasa

Apabila seorang, karena kedudukan atau jabatannya, berbuat kekeliruan atau kesalahan, dikatakan bahwa di adalah seorang manusia biasa. Seolah-olah kekeliruan atau kesalahan yang dilakukannya, dapat dimaklumi dan / atau dimaafkan. Diketahui, bahwa manusia: 1) makhluk ciptaan Tuhan, seperti hewan, tumbuh-tumbuhan, dsb. Jelaslah, bahwa manusia itu tidak berbeda dengan manusia lain; 2) berakal budi (sebagai lawan binatang). Fakta ini menunjukkan, bahwa manusia itu, berbeda dengan hewan, sangat dipengaruhi oleh akalnya; 3) bersifat salah. Tidak ada manusia yang sempurna, dan karena itu dia dapat saja berbuat keliru atau salah; 4) mempunyai kelebihan dan kekurangan. Menguasai satu atau lebih bidang dengan baik atau kurang menurut takaran yang dikehendaki; 5) mempunyai sifat atau dasar watak. Sesuatu yang disenangi atau tidak disenangi oleh lingkungan dimana dia berada; dan 6) mempunyai sikap dalam berbuat, berpikir, dsb. berdasar sifat / pendirian (pendapat atau keyakinan). Dengan memperhatikan dan memahami tersebut pada butir-butir diatas, dapat ditarik kesimpulan, bahwa adalah terlalu mengada-ada dan menyederhanakan persoalan dengan mengatakan pelaku kekeliruan atau kesalahan itu adalah karena dia juga manusia. Kiranya untuk persoalan ini dapat dipakai sebagai rujukan Bab VI tentang Pemimpin dengan segala persoalannya, dari hal 159 sampai dengan hal. 168, Buku Rangkaian Adat Basandi Syarak di Minangkabau, karangan H. Idrus Hakimy Dt. Rajo Penghulu, yang mengupas soal penghulu dan pemangku adat di Minangkabau, tentang tugas, tanggung-jawab, sifat, sikap, dan pengetahuan "penghulu" (dapat disamakan dengan Presiden) dan "pemangku adat" (seluruh staf pembantu Presiden, termasuk bidang judikatip). Moga-moga dengan rujukan ini terbukalah mata hati setiap orang, terutama yang berambisi menduduki suatu jabatan penyelenggara negara ini, memakai akal untuk bertobat dan memusatkan perhatian mereka kepada keberhasilan seluruh usaha yang berada dalam domein tugas dan tanggung-jawab masing-masing

Minggu, 14 September 2008

Oknum dan pengawasan

Kalau terjadi suatu pelanggaran atau penyalahgunaan dalam memakai kewenangan, yang bisanya dijadikan kambing hitam adalah "oknum". Apakah sebetulnya oknum itu? Mungkinkah orang yang tidak terlibat atau berada dalam lingkungan wilayah kejadian itu, melakukan hal-hal yang tidak berhubungan dengan lingkungan itu. Misalnya: mungkinkah seorang yang bukan pegawai kantor pajak berbuat sesuatu yang berhubungan dengan perpajakan? Atau mungkinkah seorang yang bukan anggota Polisi menindak pelanggar lalu-lintas?
Suatu aspek lain, adalah fungsi pengawasan, yang menjadi tugas dan kewajiban setiap unsur pimpinan. Bagaimana pun juga pelanggaran atau penyalahgunaan yang dicontohkan diatas, adalah akibat dari tidak ada atau lemahnya pelaksanaan fungsi pengawasan oleh atasan. Adilkah kalau pelaku pelanggaran / penyelahgunaan itu saja harus dikenakan sanksi, sedangkan yang berkewajiban mengawasi pelaksanaan tugas "oknum" bersangkutan dapat berlenggang kangkung bebas dari ketidak-becusannya sebagai atasan?
Kata oknum ini dipakai untuk semua lapisan yang mempunyai kewenangan, yang melanggar atau menyalahgunakan kewenangan, mulai dari kasir, pegawai pajak, dan sebagainya, sampai kepada mereka yang menandatangani suatu izin resmi dalam wilayah kekuasaan instasi bersangkutan. Jadi dari seorang pegawai kecil sampai pada pejabat tertinggi dalam instansi itu. Yang tidak pernah mereka lupakan dalam melakukan pelanggaran atau penyalahgunaan kewenangan itu, adalah menonjolkan atribut-atribut instansi dimana mereka bernaung. Apakah logis HANYA pelanggar dan / atau penyalahguna kewenangan seperti dicontohkan diatas, supaya lolos dari jeratan hukum yang berlaku? Suatu masalah untuk direnungkan demi keadilan.

The man behind the gun

Pemeo ini sudah begitu lancar dilafazkan oleh hampir semua pihak, tetapi kenyataan sehari-hari memperlihatkan, bahwa sedikit sekali orang yang berusaha untuk menciptakannya dalam dunia nyata. Persoalan yang disinggung sebenarnya cukup sederhana, yaitu: berhasil tidaknya suatu usaha sangat tergantung dari orang yang mengendalikannya. Seperti di zaman komputerisasi ini, betapa canggihnya hardware yang dipakai, betapa sophisticated software yang terpasang, tetapi hasil akan sangat tergantung kepada manware yang mempergunakanya, terutama penanggungjawab dari proses yang dilakukan. Kenapa hal ini tidak berlaku di NKRI yang sudah 63 tahun merdeka ini, yang dikatakan negara yang mempunyai sumber alam, sumber daya manusia, dan kekayaan yang melimpah ruah? Mengapa seperti tidak ada gerakan menunju perbaikan dalam mencapai kesejahteraan, pencerdasan, dan perberadaban yang berkeadilan? Mengapa seolah-olah negara ini milik segelintir orang yang berkuasa dan orang yang mempunyai harta, sedangkan sebagian besar rakyat dibiarkan tetap menderita dalam kemiskinan, kebodohan, dan diperlakukan semau-maunya? Tidak seperti Tiongkok, yang lebih kurang 20 tahun yang lalu, rakyat belum mengenal apa yang dinamakan walkman, tetapi sekarang sudah merambah kemana-mana dengan teknik dan poduksi yang canggih. Demikian juga dengan Vietnam, Thailand, dan beberapa negara lain, yang di tahun 1997 bersama-sama dengan Indonesia dilanda resesi, tetapi sekarang sudah pulih kembali, sedangkan Indoneisa masih terseok-seok menghadapi pengangguran, kekurangan lapangan kerja, ketiadaan penegakan hukum, perekonomian yang semrawut, dan sebagainya. Jawabannya sederhana sekali, yaitu NKRI masih menunggu tokoh-tokoh pemimpin yang betul-betul terpanggil untuk mengisi kemerdekaan, yang diproklamirkan 63 tahun yang lalu. Bukan orang-orang, yang hanya mempunyai kemauan dan kemampuan mencari takhta, harta dan wanita untuk kejayaan kelompok dan pribadi masing-masing. Moga-moga kita mendapatkan tokoh-tokoh dimaksud dalam waktu secepatnya, bila mungkin pada tahun 2009 yang akan datang. Karena itu hati-hatilah menjatuhkan pilihan. Jangan sampai terjebak oleh janji-janji atau money-politics.

Sabtu, 13 September 2008

Kata "anda"

Menurut WJS Poerwadarminta dalam Kamus UmumBahasa Indonesia anda bermakna II : ganti diri orang kedua (untuk menyebut orang kedua secara umum, tidak membedakan tingkat kedudukan dan umur). Kiranya perkataan ini adalah pilihan yang cocok dan tepat untuk menyampaikan pesan terhadap khalayak ramai. Dengan memakai perkataan "anda" iklan dan pengumuman yang disampaikan bernuansa netral dan simpatik, yang uudah-mudahan juga dapat menggugah hati pembaca dan/atau pendengarnya untuk lebih memberikan perhatian kepada isi dan tujuan iklan dan pengumuman bersangkutan.

Kata "kamu"

Iklan-iklan atau pengumuman-pengumuman dari instansi-instansi memakai kata "kamu" terhadap khalayak ramai yang dituju. WJS Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia mengatakan sbb: engkau : kata ganti orang yg kedua (dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya, tetapi di doa dipakai juga untuk Tuhan). Kamu: 1 engkau sekalian; 2 engkau (lebih takzim sedikit). Berbeda dengan bahasa asing, khususnya bahasa Inggeris, perkataan "you" dipakai tanpa kecuali (tetapi dengan diikuti oleh cara penyampaian yang hormat, tergantung dari lawan bicara). Sekelompok orang di negara ini juga sudah memperkenalkan cara pemakaian ini, tetapi sayangnya tidak dilatarbelakangi oleh pemahaman bahasa Indonesia yang baik dan benar. Kata "lu" yang berasal dari Cina, menurut Kamus diatas adalah bahasa kasar yang berart: engkau; kamu, yang sehari-hari biasa dipergunakan oleh seleberiti dalam hampir setiap kesempatan, resmi atau tidak, dengan label bahasa gaul. Iklan-iklan dan pengumuman melalui media cetak atau elektronik, ditujukan kepada khalayak ramai, yang tidak dikenal. Karena itu tidaklah berkelebihan, jika kata-kata yang dipakai harus bersifat resmi dan disampaikan dengan hormat. Semoga mendapat perhatian dari yang berkepentingan, agar berbuat sesuai dengan tempat dan suasana yang berlaku.

Kata-kata kamu, engkau. dan Anda.

Umum dipakai dalam iklan-iklan maupun pengumuman dari instansi-instansi resmi, kata "kamu" terhadap khalayak umum yang tidak dikenal (unknown receptions). Menurut W.J.S. Poerwadarminta dalam Kamus Umum Bahasa Indonesia perkataan engkau beratri: kata ganti orang yg kedua (dipakai untuk orang yang sama atau lebih rendah kedudukannya, tetapi di doa dip[akai juga untuk Tuhan),l

Kata-kata "saya" dan "aku"

Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan W.J.S. Poerwadarminta, terdapat perbedaan, yang dapat dikatakan cukup berarti, tentang pengertian kedua kata itu, yakni: saya : 1 pengganti orang kesatu yg lebih takzim dp aku; mis. ~ belum mengerti; sedangkan aku : 1 kata ganti orang pertama (biasanya dipakai di percakapan yang akrab, spt orang tua kpd anaknya, dsb; dan dipakai juga didoa). Merujuk kepada pengertian-pengertian tersebut, timbul pertanyaan, apakah tepat kata-kata itu dipakai pada setiap kesempatan berbicara? Apakah memenuhi syarat kepatutan jika seseorang memakai kata aku dalam berbicara dalam lingkungan dan/atau dengan orang yang sewajarnya dihormatinya? Dewasa ini kata aku sudah menjadi suatu yang lumrah dipergunakan dalam hampir setiap pembicaraan, tanpa membedakan siapa lawan bicara. Mungkin di sekolah-sekolah dalam belajar Bahasa Indonesia yang baku, perbedaan pengertian dari kedua kata-kata itu kurang diperhatikan, sehingga murid-murid tidak mengetahuinya. Perlu dicatat, bahwa kata gua adalah kata kasar untuk aku, berasal dari bahasa China. Apakah tidak seharusnya Lembaga-Lembaga Bahasa Indonesia berkewajiban meluruskan dan membenahi masalah ini? Bahasa menunjukkan bangsa: bangsa yang beradab, berbudaya, dan bermartabat. Marilah kita kembali memakai Bahasa Indonesia yang baik dan benar.

Selasa, 02 September 2008

Salah tangkap

Diberitakan, bahwa telah beberapa kali polisi salah tangkap. sampai-sampai orang-orang bersangkutan dihukum dan dipenjarakan. Terdapat 6 (enam) hal menarik tentang kejadian ini:
1) Polisi telah melakukan kesalahan menangkap orang-orang yang tidak bersalah. Hal ini dapat dihindarkan, jika polisi teliti dan cermat menganalisa informasi yang diterima. 2) Polisi tidak menghadirkan penasihat hukum yang bertugas membela terdakwa. Ini adalah kejadian yang fatal buat kepolisian yang mestinya mengerti dan menghormati hak-hak setiap tersangka.
3) Polisi telah melakukan penyiksaan dan pemerasan dalam usaha mendapatkan pengakuan dari tersangka. Nyata sekali, bahwa polisi bertindak sewenang-wenang dalam pemeriksaan
Hal ini dapat dihindarkan, sekiranya penasihat hukum hadir pada waktu pemeriksaan oleh polisi.
4) Tidak ada permohonan maaf dari polisi tentang kesalahan tangkap itu dan penyiksaan yang telah dilakukan. Suatu hal yang menunjukkan pembenaran atas kesewenang-wenangan itu.
5) Tidak jelas apakah nama yang bersangkutan sudah direhabilitir atau belum. Suatu hak setiap orang yang secara tidak "sengaja" dicemarkan, harus direhabilitir. 6) Tidak diketahui apakah polisi yang melakukan kesalahan tangkap dan penyiksaan itu sudah dikenakan sanksi administratip dan / atau pidana. Seolah-olah polisi dapat berbuat salah tanpa dikenakan sanksi, administratip atau pidana untuk kesalahan atau pelanggaran yang telah dilakukannya.
Jika sinyalaemn diatas benar, maka haruslah disadari, bahwa polisi adalah bagian dari penegak hukum, dan NKRI adalah negara hukum. Kalau para penegak hukum tidak menegakkan hukum, malahan dibebaskan dari pelanggaran hukum dan / atau kesalahan yang dibuatnya, apalagi dalam mendalankan tugas dan kewajibannya, perlu dipertanyakan: AKAN DIBAWA KEMANA NEGARA INI?

Munafik

Mengamati perkembangan akhir-akhir ini terutama dalam perpolitikan, dapat disimpulkan, bahwa kemunafikan telah merupakan bagian dari kebudayaan Indonesia. Ada baiknya, jika kita lebih dahulu menyamakan persepsi tentang arti munafik. Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia susunan WJS Purwadarminta munafik berati: hanya kelihatannya percaya, suci, setia dan sebagainya, tetapi sebenarnya tidak. Oxford Advanced Learner's Dictionary of Common English (AS Hornby) menyebutkan: hypocricy sebagai (instance of) falsely making onself appear to be virtuous or good. Synonym dari kata ini menurut The Nutall Dictionary of English Synonyms and Antonyms keluaran Frederick Warne, London - New York, dan edited by G. Elgie Christ, adalah sincerety, yang berarti menurut Oxford Dictionary diatas: (of feelings, behaviour) the quality of being genuine not pretended, atau (of person) straightforward, not in the habit of expressing feelings that are pretended. Dalam bahasa Indonesia, menurut Kamu Umum diatas, sincerety berarti: benar-benar terbit di hati yang suci, jujur, tidak pura-pura, tidak serong. Apabila rumusan ini dapat diterima, maka sudah waktunya kita melakukan sesuatu, terutama para politisi, agar perilaku dan kinerja kita tercermin dari usaha untuk meningkatkan kesejahteraan, keadilan, dan kecerdasan bangsa ini, seperti yang dicita-citakan oleh founding fathers kita. Tidak dipungkiri, bahwa dasar usaha ini adalah ideologi sendiri-sendiri, yang diwadahi oleh partai politik yang sepaham. Jadi partai-partai politik harus merupakan badan-badan yang memulai reformasi ini, dan tidak lagi sebagai sumber kemunafikan. Kecuali itu partai-partai politik harus mengucilkan mereka yang berperilaku kutu loncat, karena jelas sekali mereka tidak mempunyai prinsip.
Politisi tidak mungkin terdiri dari manusia-manusia munafik, yang hanya bernafsu berkuasa untuk takhta, harta dan wanita. Kelompok manusia ini patut dihindarkan dari kancah perjuangan mengisi kemerdekaan ini. Siapa saja manusia-manusia itu? Mereka umumnya adalah orang-orang yang telah menikmati kejajaan dan harta dengan segala macam cara sesuai dengan sistem yang berlaku, dan orang-orang muda usia yang tercemar karena keturunan dan kesempatan / peluang yang mereka peroleh, dan berusaha melindungi diri masing-masing dari tuntutan hukum atas pelanggaran-pelanggaran yang telah mereka lakukan, serta sekaligus mempertahankan kekuasaan, dan harta yang telah berhasil mereka raup. Karena itu marilah kita bulatkan tekad dan tegakkan kepala melawan dan menghilangkan segala kemunafikan yang ada.